Modernis.co, Malang – Kakanda M. Ibnu Rizal (Ketua Umum IMM Komisariat Tamaddun FAI periode 2016-2017) menulis tentang keharusan lahir kembalinya Dahlan dan Wahlidah sebagai kolaborasi antara peran laki-laki dan perempuan (pasangan suami istri) untuk menambah spirit keberlangsungan perjuangan Muhammadiyah dalam mendakwahkan Islam di tengah kehidupan umat. (lihat; Dahlan dan Wahlidah Harus Lahir Kembali Modernis.co – kini dan nanti).
Beranjak dari tulisan kakanda kesayangan tersebut, sehingga tulisan ini terinspirasi untuk membahas tentang reinkarnasi Dahlan dan Walidah dalam skala Keorganisasian. Melihat reinkarnasi Dahlan dan Walidah yang sekarang bibit dasarnya sudah lahir di Ormas Muhammadiyah IMM Komisariat Tamaddun FAI. Dimana dari sekian banyak kader-kadernya yang proaktif berkontribusi terdapat dua Sejoli muda (Suami Istri) yang tidak kalah menarik untuk di bahas.
Yea, itu adalah Mirsa Alfian Anhari dan Jumiyati yang merupakan mahasiswa aktif semester tiga Prodi Tarbiyyah kelas A. (FAI UMM). Sejoli muda yang akrab dipanggil Mirsa dan Jeje oleh teman-temannya ini bukan hanya satu angkatan perkuliahan, tapi mereka juga satu kelas dan satu organisasi. Jadi, kesannya seperti eksistensi dua sisi mata koin yang tidak bisa di pisahkan.
Sebagai pengantar, Pada dasarnya perjuangan Dahlan dan Walidah ialah mecerdaskan kehidupan umat pada umumnya dan mengoreantasikan ajaran Islam yang murni dengan bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah bagi orang islam pada khususnya. Sementara halnya sedikit berbeda dengan sejoli muda ini, yang secara tidak lansung mengulang hal itu dalam skala organisasi.
Karena adanya faktor terhadap perubahan sosial, budaya, pengetahuan dan usia serta waktu dalam memerankan kisah hidup, Besar kemungkinan reinkarnasi Dahlan dan Walidah mengalami perubahan terhadap nama aktor dan ranah geraknya. Seperti misalnya dalam skala yang kecil yakni dua sejoli yang sedang kita bahas.
Jika Dahlan berperan sebagai tolak ukur pimpinan Muhammadiyah kedepannya, Wahlida berperan menjadi tolak ukur Pimpinan Ayisiyah kedepannya, maka disini Mirsa berperan menjadi tolak ukur untuk kader Immawan dan Jeje berperan menjadi tolak ukur kader-kader Immawati kedepannya.
Hal itu dapat terlihat diimana mereka mampu menjadi bingkai istimewa sebagai tolak ukur dalam kehidupan keorganisasian IMM dengan adanya singkronisasi kolaborasi dan koherensi misi antara laki-dan wanita yang dijadikan pendukung, motor penguat dorongan pergerakan, dan perjuangan persarikatan dalam mencapai tujuannya.
Tujuan IMM adalah menyupayakan akedemisi Islam yang ber-akhlak mulia, sehingga dalam upaya dan proses mencapai tujuan tersebut, sebagai aktor utama (subjek) harus mencerminkan sikap yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang terdapat dalam ajaran Islam, terutama dalam ruang lingkup pergaulan organisasi dan aktivitas akademik serta untuk msayarakat pada umumnya.
Dalam proses mencapai tujuan tersebut tentu memiliki berbagai kendala yang bisa menghabat. Kendala yang seringkali dan banyak kita dapati dalam persoalan ini ialah sikap antara laki-laki dan wanita yang sering tidak ditempatkan pada posisi rel yang benar. Sehingga terjadinya tumpang tindih antara kebiasaan yang ditekuni dan tujuan yang hendak diraih yang apabila diperhatikan secara fundamental berdampak pada dan merusak nama aktor secara pribadi dan nama Organisasi secara umum.
Dari kendala yang demikian, sebagai patokan pergerakan, tindakan, dalam beraktivitasnya mahasiswa-mahasiswi atau Immawan dan Immawati bisa mengambil contoh pada dua sejoli tersebut yang dimana mereka selalu hadir sebagai pasangan yang memperlihatkan keserasian, baik ketika berada di kampus maupun di organisasi dengan batas-batas tertentu dan dipraktekan secara profesional dan proporsional guna menghindari perspektif negatif bagi setiap mata yang memandang.
Walaupun sebenarnya, apa yang dipandang negatif oleh orang lain seperti kemana-mana selalu berdua dengan rasa nyaman dan ceria bahagia itu bukanlah tindakan terlarang dikarenakan mereka sudah menjadi pasangan yang sah. Namun komitmen terrhadap sikap profesional dan proporsional mereka tetap frontal terlihat.
Kaitannya dengan Immawan dan Immawati sekarang ini ialah, Immawan dan Immawati harus mampu profesinal dan proporsional manakala terjadinya dialektika atau pertemuan-pertemuan (kemana-mana) secara pribadi dan umum, entah itu di ranah dan ruang lingkup organisai maupun di internal kampus (akademik) agar terhindar dari perspektif yang tidak sesuai keinginan sebagaimana pembahasan di atas.
Mungkin ada banyak yang akan berpandangan dan berpendapat bahwa perspektif ini mengandung unsur profokatif dan anjuran untuk menikah muda. Atau memprofokatif Immawan dan Immawati untuk menikah muda, CLBK bagi yang sudah putus atau menjalin cinta apabila masih singgle.
Dari itu, untuk menghindarinya perlu ditekankan lagi bahwa Ini bukanlah persoalan tuna asmara dan tuna kasih sayang yang sudah menjadi kebiasaan dan mengerogoti generasi milenial seperti sekarang ini, sehingga mengahruskan untuk memilih jalan pernikahan guna terciptanya hal yang sama agar lebih terjaga dan terhindar dari tindakan pornografi dan porno aksi.
Akan tetapi, ini merupakan persoalan bagaimana urgensi kolaborasi misi antara laki-laki dan perempuan, khususnya Immawan dan Immawati dengan memperlihatkan keanggunannya dalam moralitas, keunggulannya dalam berintelektual dengan sikap profesinal dan proporsional untuk dihadirkan dipermuakaan dan dirasakan oleh seluruh anggota keorganisasian serta mahasiswa-mahasiswi lain pada ruang lingkup umum.
Melihat Mahasiswa dan mahasisiwi atau Immawan dan Immawati merupakan calon-calon penampuk pimpinan umat di masa yang akan datang, maka sangat perlu kebiasaan terhadap sikap-sikap tersebut untuk dilatih dan dikembang biakkan sejak dini agar terjadi singkronisasi langkah Immawan dan Immawati dan terhindar dari tumpang tindih antara perjalanan persarikatan yang kita tekuni dengan persarikan-persarikatan lain di luar sana.
Kakanda Yususf Afrijal pernah menyatakan bahwasanya apabila peran laki-laki dan peran perempuan tidak bisa diposisikan sesuai kadar dan kodratnya, maka akan selalu bertendensi pada kendala-kendala serta hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan. Padahal sejatinya, adanya perbedaaan kodrat peranan itu untuk saling melengkapi.
Lebih jauh beliau memberikan beberapa ibarat tentang kehidupan yang terdapat pada komisariat, yang dimana hanya ada Immawan sebagai aktor penuntas urusan dan masalah-masalah luar, tapi jarang ditemukan keberadaan immawati sehingga berdampak pada kotornya lingkungan komisariat, kacaunya pemandangan yang terdapat di dapur dengan tidak teraturnya perkakas dapur dan ruang-ruang lainnya.
Selain itu, yang tidak kalah parahnya ialah berakibat pada kurangnya praktek peranan Immawan sebagai pemimpin dan praktek peranan Immawati yang kelak akan menjadi Ibu dan guru yang memberikan pendidikan pertama atau Madrasah AL-Ula (MA) bagi anak-anak dan calon generasi penerus.
Sedikit saya tarik kembali kalimat diatas bahwa perspektif ini bukan unsur profokatif dan anjuran untuk menikah muda. Atau memprofokatif Immawan dan Immawati untuk menjalin hubungan cinta atau CLBK bagi yang sudah putus. Tapi untuk memaksimalkan peranan Immawan dan Immawati agar sesuai dengan rel yang benar sebagai tolak ukur kehidupan anggota organisasi pada khususnya dan kehidupan mahasiswa pada dunia akademik serta kehidupan sosial pada umumnya.
Beranjak dari itu, apabila tidak terdapat koherensi dalam pergerakan dan tidak singkron langkah Immawan dan Immawati dalam perjuangannya untuk mewujudkan cita-cita bersama. Maka katakanlah kepada Immawan dan Immawati, berjuang dan menjadi kader IMM itu berat, kamu tidak akan kuat bila sendirian. Untuk itu, mari kita berjuang bersama-sama. (IMM Dilan.1990).
*Oleh : Syarif R. F. (Kader IMM Komisariat Tamaddun FAI UMM)